Jejak Jahat Dokter Cabul Garut Demi Puaskan Syahwat
Kasus pelecehan seksual kembali mencoreng dunia medis Indonesia. Kali ini, sorotan tajam publik tertuju pada seorang oknum dokter di Garut, Jawa Barat, yang diduga melakukan tindakan cabul terhadap sejumlah pasien perempuan. Pria berinisial DR (36) tersebut kini telah
diamankan pihak kepolisian dan sedang menjalani proses hukum yang intensif. Aksinya yang menyalahgunakan profesi demi memuaskan nafsu syahwatnya menuai kecaman luas dari masyarakat dan kalangan profesional medis.
Jejak Jahat Dokter Cabul Garut Demi Puaskan Syahwat
Peristiwa ini tidak hanya mengundang amarah, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terhadap keamanan pasien saat menjalani pemeriksaan medis, khususnya di fasilitas layanan kesehatan
tingkat daerah. Dalam penyelidikan lebih lanjut, polisi berhasil mengungkap jejak rekam perilaku menyimpang pelaku, yang telah berlangsung selama beberapa waktu dengan modus operandi yang sama.
Kronologi Pengungkapan Kasus
Kasus ini terungkap setelah salah satu korban memberanikan diri melaporkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh pelaku saat menjalani pemeriksaan medis di klinik tempat DR praktik.
Korban, seorang perempuan berusia 22 tahun, mengaku mengalami tindakan tidak pantas yang dilakukan di ruang pemeriksaan, tanpa kehadiran perawat pendamping.
Merasa tertekan dan trauma, korban sempat menyimpan kejadian tersebut selama beberapa hari sebelum akhirnya memutuskan untuk melapor ke pihak berwajib dengan didampingi keluarganya.
Laporan tersebut segera ditindaklanjuti oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Garut, yang langsung melakukan penyelidikan dan mengumpulkan alat bukti.
Baca juga:Sekar Arum Terlibat Kasus Uang Palsu, Polisi Akan Koordinasi dengan Istiqlal
Modus Operandi Pelaku
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, pelaku menjalankan aksinya dengan memanfaatkan status dan kewenangannya sebagai dokter.
Ia meminta pasien perempuan untuk menanggalkan sebagian pakaian dengan dalih pemeriksaan fisik.
Dalam kondisi ruangan tertutup dan tanpa pengawasan pihak ketiga, pelaku kemudian melakukan tindakan pelecehan yang tidak berkaitan dengan prosedur medis.
Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan diduga mengambil dokumentasi secara diam-diam, menggunakan perangkat pribadi, yang kini turut disita polisi untuk kepentingan penyelidikan lanjutan.
Modus yang digunakan tergolong licik dan terencana, serta menunjukkan indikasi penyimpangan perilaku seksual yang serius.
Jumlah Korban Bertambah
Setelah kasus ini mencuat ke publik, sejumlah korban lain mulai bermunculan. Hingga artikel ini ditulis
sedikitnya lima orang perempuan telah mengaku menjadi korban dengan modus serupa.
Sebagian besar dari mereka mengaku takut melapor sebelumnya karena pelaku adalah sosok yang dihormati sebagai tenaga medis di komunitas lokal.
Kepolisian menyatakan masih membuka posko aduan untuk mendorong keberanian korban lainnya melapor. Diharapkan, seluruh korban mendapatkan perlindungan hukum dan dukungan psikologis dari pemerintah daerah dan lembaga perlindungan perempuan.
Status Hukum Pelaku dan Barang Bukti
Pelaku DR saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai pasal berlapis, antara lain:
-
Pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul
-
Pasal 294 KUHP tentang kejahatan terhadap pasien yang berada dalam pengawasan
-
Pasal 6 huruf c UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Ancaman hukuman yang dikenakan terhadap tersangka bisa mencapai maksimal 15 tahun penjara, tergantung hasil persidangan dan jumlah korban yang terbukti sah secara hukum.
Sebagai bagian dari proses hukum, aparat kepolisian juga menyita barang bukti berupa pakaian korban
alat pemeriksaan medis yang digunakan pelaku, serta perangkat elektronik pribadi seperti ponsel dan kamera tersembunyi yang diduga dipakai dalam tindak pidana.
Tanggapan IDI dan Dinas Kesehatan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Garut menyatakan mengecam keras tindakan pelaku, yang dianggap telah
mencoreng nama baik profesi kedokteran. Pihak IDI juga menyampaikan akan melakukan proses etik secara internal
termasuk mencabut izin praktik dokter yang bersangkutan jika terbukti bersalah secara hukum.
Dinas Kesehatan Kabupaten Garut turut memberikan pernyataan resmi, menyatakan akan memperketat pengawasan dan memperbarui prosedur standar pelayanan medis,
termasuk mewajibkan kehadiran perawat pendamping selama pemeriksaan pasien perempuan oleh dokter laki-laki.
Reaksi Masyarakat dan Netizen
Kasus ini mendapat perhatian luas di media sosial. Banyak warganet menyuarakan
kekesalan atas penyalahgunaan kekuasaan oleh tenaga medis, yang seharusnya menjadi pelindung dan penyembuh bagi masyarakat.
Tagar seperti #DokterCabulGarut dan #LawanPelecehanSeksual sempat menjadi trending topik regional.
Sebagian warganet juga mendorong pengesahan sistem pemantauan rekam medis yang transparan dan perlindungan yang lebih baik bagi pasien perempuan.
Perlindungan untuk Korban
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah memberikan pendampingan
psikologis dan hukum terhadap para korban. Layanan konseling disediakan oleh lembaga perlindungan perempuan
tingkat kabupaten, bekerja sama dengan LSM yang fokus pada isu kekerasan seksual.
Pihak kepolisian juga menjamin bahwa identitas seluruh korban dirahasiakan, dan akan memperlakukan mereka secara manusiawi sesuai standar penanganan korban kejahatan seksual.
Pentingnya Edukasi dan Reformasi Layanan Kesehatan
Kasus ini membuka mata publik bahwa sektor layanan kesehatan tidak kebal dari ancaman tindak kekerasan seksual.
Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi sistemik, mulai dari perbaikan SOP pemeriksaan pasien, pengawasan berbasis teknologi, hingga edukasi masyarakat tentang hak-hak pasien.
Para ahli menyarankan agar pasien perempuan tidak segan meminta kehadiran pendamping ketika diperiksa
oleh dokter laki-laki, dan segera melapor jika mengalami ketidaknyamanan atau tindakan mencurigakan.
Kesimpulan
Kasus dokter cabul di Garut menjadi bukti bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan dalam ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan profesional.
Tindakan bejat yang dilakukan oleh oknum tenaga medis telah merusak kepercayaan publik dan menimbulkan trauma mendalam bagi korban.
Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan
bisa memberikan keadilan yang setimpal bagi seluruh korban dan menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang menyalahgunakan profesi demi kepentingan pribadi yang menyimpang.
Pemerintah, masyarakat, dan institusi kesehatan harus bergandeng tangan untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.